Korban Begal Jadi Tersangka, Akademisi Unram Tak Setuju dengan Polisi

"Terguncang jiwanya ini misalnya seperti rasa takut, bingung dan marah," tukasnya.
Dari pemaparan tersebut, Taufan melihat kasus itu dapat memenuhi kategori keduanya, baik daya paksa atau pembelaan terpaksa. Pertimbangannya, melihat kejadian pada malam hari dan peran begal yang dilakukan oleh orang berpengalaman dengan jumlah empat orang.
"Sehingga, apabila itu dapat dibuktikan dengan fakta lain, seperti pemaksaan fisik atau psikis, maka sudah sepatutnya korban S tidak dipidana," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, tinggal membedakan apakah daya paksa atau pembelaan terpaksa.
Jika daya paksa, maka pembunuhan itu karena faktor dari luar atau tekanan yang didapatkan, sehingga fungsi batinnya tidak dapat bekerja secara normal.
Jika pembelaan terpaksa karena adanya ancaman atau serangan lebih dahulu, maka ada kondisi tambahan pembelaan terpaksa melampaui batas, yaitu serangan korban S menyebabkan kematian karena guncangan jiwa.
Itu semua harus dibuktikan oleh polisi dan dibantu ahli psikologis, menurutnya.
"Tetapi menurut saya hal ini sulit karena faktor pelaku adalah tukang begal, membawa senjata tajam dan berjumlah empat orang," katanya.
Buntut kasus penetapan korban begal menjadi rersangka, akademisi Univresitas Mataram tak setuju dengan polisi, berikut ketentuan hukumnya
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com NTB di Google News